Perkembangan profesi penilai usaha di Indonesia tampaknya berada pada jejak (track) yang kurang pas. Causa prima-nya berada pada visi dan pengetahuan regulator tentang profesi penilaian usaha dan keengganan untuk menerima hal-hal baru (yang mungkin dianggap akan merepotkan). Penilaian usaha adalah profesi yang, dengan mengacu pada standar penilaian (usaha), memberikan opini independen tentang; (a) nilai dari sekuritas (saham, beserta turunannya), obligasi dan surat berharga lainnya, (b) kewajaran dari transaksi atau tindakan korporasi (dalam rangka implementasi GCG), (c) kelayakan investasi (sesuai dengan ketentuan Bapepam untuk perusahaan publik hanya dapat dilakukan oleh profesi penilai usaha), dan (d) nilai dari aktiva tak berwujud (ATB, mengingat banyak terkait dengan keuangan, USPAP, Uniform Standar of Professional Appraisal Practice, di AS, mengelompokkan ATB kedalam standar penilaian usaha). Dasar pengetahuan yang diperlukan profesi ini adalah Corporate Finance, Cost & Management Accounting, dan pengetahuan lain yang terkait dengan pengelolaan bisnis baik internal maupun eksternal (business landscape). Oleh karena itu di AS (tempat dan cikal bakal berkembangnya profesi ini), kegiatan penilaian usaha dilakukan oleh Corporate Finance House (saat ini yang berafiliasi dengan KAP, tidak diperbolehkan), sedangkan di Inggris dan negara Commonwealth lainnya kebanyakan dilakukan oleh Kantor Akuntan. Sejalan dengan ini maka asosiasi, pelatihan, akreditasi/sertifikasi dan standar penilaian, berkembang dan dilaksanakan tersendiri, berbeda dengan penilaian real property. Dalam kongres AVA di Singapore, hampir semua peserta dari negara ASEAN (kecuali Indonesia), menyatakan bahwa penilaian usaha itu ranah bidang keuangan yang mensyaratkan bidang pengetahuan yang berbeda dengan penilaian real property. Seandainya ada asosiasi penilai yang ingin menaungi profesi ini, seperti ASA, American Society Appraisers, maka mereka pun mengembangkan organisasi (komite), akreditasi dan standar tersendiri.Di Indonesia, para pembina masih berparadigma lama dan tampaknya tidak mau repot, hanya mau ada 1 asosiasi (yang sudah ada), yang dari awal didirikan oleh dan didesain untuk mengakomodasi profesi penilai real estate. Dilain pihak asosiasi tersebut, tampak belum siap, baik dalam sikap maupun dalam kompetensi, padahal pelatihan, sertifikasi dan standar penilaian yang merupakan aspek utama dari suatu profesi, hanya diberikan pada asosiasi ini (monopoli). Ketidak siapan itu tampak, ketika dalam rapat2 penyusunan standar (tahun 1999/2000), menolak usulan saya tentang perlu adanya sertifikasi dan standar sendiri yang terpisah bagi penilaian usaha. Disinilah hal yang kurang pas terjadi, para penilai yang lulus Ujian Sertifikasi Penilai (USP), yang didesain untuk penilai real estat, boleh melakukan penilaian usaha, karena sesuai dengan ketentuan yang berlaku, izin yang diberikan adalah izin untuk penilaian semua bidang, demikian juga dengan standar penilaian. Standar Penilaian Indonesia (SPI), yang didesain untuk penilaian real estat diberlakukan untuk penilaian usaha.
Ketika para professional penilai usaha, yang tidak terakomodasikan aspirasinya, tahun 2000 mendirikan suatu asosiasi khusus untuk penilai usaha (seperti di AS), maka buru-buru asosiasi yang didesain untuk real estat ini, tahun 2001, mendirikan Komite Penilai Usaha (KPU) dan menyelenggarakan sertitikasi khusus untuk penilai usaha (inilah dampak positif dari persaingan, sebagai mana yang dipromosikan DPR dan Pem melalui UU no.5/1999, maka sungguh aneh bila regulator masih saja memiliki preferensi monopoli). Namun karena baru beberapa orang yang mempelajari disiplin penilain usaha, dan itupun terbatas dalam pemberian opini tentang nilai saham (sebagaimana pelatihan yang pernah diadakan, dimana saya sebagai pengajar utama ), maka dapat diduga bagaimana tingkat dan ruang lingkup kompetensi penilai yang dihasilkan dari sertifikasi seperti itu. Hal ini tercermin dari variasi dan kwalitas pertanyaan yang sering saya terima dari rekan penilai (yang bersertifikat), bahkan baru2 ini, beberapa hari sebelum idul fitri, saya menerima pertanyaan: pak, saya sedang menilai saham perusahaan X, tetapi nilainya ada perbedaan dengan keinginan pimpinan (saya perhalus), bagaimana caranya ya merubah proyeksi? Hal tersebut dapat terjadi, disamping terkait dengan proses sertifikasi, juga karena belum diberlakukannya standar khusus untuk penilaian usaha. SPI yang didominasi dan didesain untuk penilaian real estat dan terjemahan dari International Valuation Standard, IVS, (dengan Guidance Note khusus untuk penilaian usaha yang terkait dengan financial interest in a commercial property), akan sulit untuk mengakomodasikan proses dan hasil penilaian usaha yang dapat dipertanggung jawabkan (well founded estimate).
Alhamdulillah bahwa saat ini KPU dari asosiasi yang saya sebut diatas, mulai merekrut para profesional penilai usaha untuk pelatih dan penguji, sehingga diharapkan akan ada perbaikan fundamental kedepan, terutama dalam sistem sertifikasi dan standar (yang merupakan aspek kunci untuk suatu profesi). Dalam standar tampaknya masih agak lama, karena masih kuatnya 'keterikatan' para pengurus asosiasi kepada IVS, walau sudah keluar pernyataan regulator dalam suatu pertemuan, untuk mengembangkan standar sendiri bagi penilai usaha. Tetapi dalam sertifikasi sudah mulai ada keinginan untuk perbaikan a.l. perubahan USP menjadi sistem modul, walau masih keinginan yang setengah hati, sehingga yang terbentukpun juga setengah modul. Pengembangan modul kelihatannya hanyalah menetapkan Bagian2 soal dari USP menjadi modul, dimana kelulusannya dapat ditetapkan secara partial.
Ujian sertifikasi berdasarkan modul, dengan mengacu kepada ujian profesi yang ada, biasanya di lakukan atas dasar; (a) ruang lingkup dan tingkat pengetahuan yang harus dimiliki atau dikuasai oleh suatu profesi, atau (b) ruang lingkup dan tingkat kompetensi yang harus dikasai oleh profesi. Untuk mengembangkan modul dengan cara (a), maka harus di susun lebih dahulu body of knowledge profesi penilaian usaha, baru dapat ditetapkan modul dan ujiannya. Sebagai contoh untuk seorang akuntan, IAI, menetapkan modul berdasarkan jenis2 ilmu pengetahuan yang harus dimiliki, sedangkan tingkatannya melekat pada materi2 yang diujikan. Untuk seorang CFA, modul ujian sekaligus menunjukkan jenis dan tingkat pengetahuan yang harus dikuasai, sehingga ujian profesi terdiri atas; Level 1 meliputi basic knowlegde (Corporate Finance, Accounting, Statistik, Ekonomi, dll), Level 2 meliputi valuation (terutama), dan Level 3 meliputi fortofolio investasi. Sedangkan modul berdasarkan kompetensi, disusun, dikelompokkan dan diujikan berdasarkan unit2 kompetensi dari setiap lingkup kompetensi. Dengan demikian untuk setiap lingkup penilaian (sekuritas, kewajaran transaksi, kelayakan investasi dan aktiva tak berwujud) juga harus disusun dahulu unit dan elemen kompetensi, baru dikelompokkan dan diujikan sebagai suatu modul.
Untuk pembinaan profesi ini kedepan, tampaknya pengembangan sistem sertifikasi dan standar penilaian serta organisasi profesi yang spesifik penilaian usaha, adalah conditio sine qua non. Dalam hal sertifikasi, modul manapun yang dipilih, bagi saya tidak menjadi masalah, sepanjang proses untuk mengembangkan modul itu dilakukan secara seksama, komprehensif, terbuka dan ada kemauan mempelajari dan menerima pendapat lain. Terkait dengan adanya Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP), yang memiliki payung hukum yang kuat, sebaiknya profesi ini lebih terbuka dan bekerja sama, tanpa pretensi dan apriori, sehingga dapat dikembangkan sistem sertifikasi profesi yang dapat menghasilkan penilai yang kompeten dan bertanggung jawab. Dalam hal standar penilaian, dapat dikembangkan terpisah menjadi Standar Penilaian Usaha tersendiri, atau ada standar pokok yang berlaku umum kemudian terbagi menjadi standar yang mengatur secara spesifik setiap disiplin penilaian. Demikian juga mengenai organisasi, tidak perlu apriori (sebenarnya saya tidak mengerti apa yang dikhawatirkan?), bila ada asosiasi profesi tersendiri, sepanjang Pembina mengembangkan (dapat dilakukan bersama asosiasi profesi) dan memiliki suatu sistem sertifikasi dan standar yang representatif dapat menghasilkan proses penyelenggaraan penilaian usaha yang dapat dipertanggung jawabkan. Organisasi spesifik penilaian usaha ini juga dapat merupakan bagian dari organisasi penilai yang besar, hanya disini perlu ada sikap dan komitmen untuk semata-mata pengembangan profesi, bukan komitmen yang disertai kepentingan kekuasaaan atau bisnis pribadi. Iklaskan saja untuk diserahkan secara penuh dan independen kepada bagian dari organisasi spesifik tersebut dan mereka yang ahli dibidangnya. (Jakarta, 19 Nopember 2007)