Rabu, 05 Desember 2007

Persaingan tak sehat dampak aturan pemerintrah

Itulah sebuah judul (head line) sebuah berita dalam harian Bisnis Indonesia, hari Rabu, tanggal 5 Desember 2007. Maraknya praktek persaingan usaha tidak sehat di tanah air justru disebabkan oleh perilaku pemerintah sendiri. Karena beberapa regulasi yang dibuat telah mendukung pelaku usaha untuk melakukan persaingan usaha tidak sehat. Pernyataan tersebut merupakan salah satu kesimpulan diskusi Pencapaian, Hambatan dan Tantangan Dalam Penerapan Hukum Usaha yang diselenggarakan oleh Project Implementation of Competetion (ICL) dengan CSIS, yang dikutip oleh harian tersebut.
Saya tertarik dengan judul berita ini karena terkait dengan percikan pendapat dan harapan saya tentang profesi penilai usaha yang di post dalam situs ini tanggal 17 Nopember 2007. Percikan pendapat ini menulis bahwa salah satu sebab kurang berkembangnya profesi ini adalah karena regulator masih mempertahankan peraturan yang bersifat monopoli dengan menentukan persyaratan keangotaan asosiasi tertentu untuk memperoleh perizinan. Ketika regulator menyatakan bahwa penyelenggaraan jasa penilaian usaha (business valuation), yang biasanya diselenggarakan oleh konsultan keuangan dari Corporate Finance cq Investment House, harus dilaksanakan oleh Penilai, maka tersingkirlah para profesional yang berpengalaman dalam bidang ini. Karena mereka adalah anggota asosiasi profesi penilai yang khusus dibidang ini, bukan anggota asosiasi profesi penilai yang dari semula dirancang sebagai asosiasi penilaian bidang lain, tetapi diakui dan diberi monopoli oleh pemerintah. Dampak yang tidak sehat adalah terjadi banyak 'jual-beli stempel' oleh mereka yang punya izin tetapi tanpa kemampuan, yang sebenarnya jelas-jelas melanggar Kode Etik Profesi.
Terus terang walaupun saya anggota asosiasi yang memperoleh privelege tersebut, bisa juga memanfaatkannya, tetapi tetap saja saya merasa risi karena hal itu tidak wajar, bersifat pilih kasih dan tidak mencerminkan rasa keadilan. Bertentangan dengan konstitusi yang menjunjung tinggi azas kebebasan berserikat dan azas non diskriminasi. Selain itu juga bertentangan dengan prinsip ekonomi yang bagi para mahasiswa ekonomi, telah dipelajari sejak semester pertama, bahwa persaingan adalah sendi dalam menuju efisiensi dan kepuasan konsumen.
Saya sangat berharap semoga kesimpulan hasil diskusi itu mendapat perhatian dari pemerintah dan bekenan untuk mengambil langkah positif bagi pengembangan profesi penilai dengan menerapkan kebijakan pembinaan profesi atas dasar prinsip non diskriminatif sebagaimana yang juga telah disarankan pula oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). Pendapat yang diberikan profesi ini cukup berpengaruh terhadap kesejahteraan sebagian masyarakat (investor) dan stakeholder. Penggunaan jasa profesi ini pada setiap tindakan atau transaksi korporasi merupakan cermin dari pelaksanaan good corporate governance yang pada gilirannya akan mengurangi potensi skandal korporasi.